Rabu, 11 Desember 2013

When You Leave Us..


7 tahun telah berlalu...

Di bawah langit yang mendung, ku menatap nama yang terukir pada batu nisan. Terukir nama ayahku lengkap dengan tanggal lahir dan tanggal kematiannya. Ayahku meninggal karena serangan jantung, itu yang dikatakan oleh dokter. Menurut orang awam, ayahku terkena penyakit angin duduk. Yah, jika dikaitkan dengan serangan jantung, angin duduk memang menyerang jantung.
Sejak kepergiannya, keluargaku semakin kacau. Aku semakin menyalahkan diriku sebagai penyebab kematian ayahku.

7 tahun yang lalu..

Saat itu, siang hari ketika aku pulang dari sekolah. Aku melihat ayah sedang muntah-muntah di teras rumah. Segera aku menghampirinya.
                “Bapak kenapa? Kok muntah-muntah?”, tanyaku panik
                “uhuk uhuk, hueeek”, bapak terus muntah sambil memegang tempat sampah yang
      menampung muntahnya itu.
                “ibu dimana? Kok ngga ada orang?”, aku melihat keadaan rumah yang sepi
                “ibu sedang ke tempat bibi Sany”, kata ayah disela-sela muntahnya

 Aku segera ganti baju dan pergi ke rumah bibi Sany, rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Tadinya aku mau jalan kaki ke rumah bibi, tapi akhirnya aku memutuskan untuk naik angkot. Teringat kalau bibi Sany sedang sakit, penyakit mag-nya kambuh lumayan parah. Ibu pergi kesana untuk merawat dan memberikan kunyit kental untuk diminum oleh bibi. Sesampainya aku di depan rumah bibi, ternyata ibu sedang ada di depan pagar berpamitan untuk pulang. Ibu kaget melihat aku yang datang menyusulnya. Aku menceritakan kondisi ayah, segera kami pun pulang ke rumah.

Sesampainya dirumah, ayah sudah tidak muntah-muntah. Dia sedang duduk dibangku teras rumah. Ibu menanyakan keadaan ayah dan mengurusi ayah. Karena udah ada ibu, aku pun mulai tenang dan melakukan aktifitasku. Malam hari, kami menonton tv bersama. Kami bercanda bersama, ayah yang mulai jahil dan tertawa seolah lupa kalau tadi dia habis muntah-muntah. Saat itu aku terasa sangat lelah, aku pun mulai pergi ke kamar untuk tidur lebih dulu dari yang lain. Saat aku masuk ke kamar, aku mendengar suara kakak yang baru pulang dari bekerja. ayah yang tadinya duduk di dalam rumah, kini pindah duduk di bangku teras. Rumahku sangat kecil 5m x 9m, hanya ada 4 ruang : ruang tamu, ruang dapur dan 2 kamar tidur. Aku sekamar dengan kakakku, sementara abangku tidur di ruang tamu, ayah dan ibu dikamar lainnya. Dinding kamarku tembus langsung ke teras, jadi aku bisa mendengar atau melihat keadaan di depan rumah dengan sangat jelas.
Didalam kamar aku mulai berdoa rutinitas sebelum tidur. Doaku sama seperti doa dimalam-malam sebelumnya, namun ada doa yang aku panjatkan malam ini. Aku berdoa untuk ayahku, aku tidak tahu apa yang sedang diderita olehnya. Aku berdoa untuk kesehatannya,
                “Ya Tuhan, berkatilah ayah saya. Tadi dia muntah-muntah, saya ngga tahu kenapa dia
      muntah-muntah seperti itu. Saya meminta kesembuhan untuk ayah saya. Berikanlah yang
      terbaik bagiMu, ya Tuhan.”

Ketika aku memanjatkan doaku itu, aku mendengar suara aneh seperti suara orang sedang mendengkur. Aku berhenti sejenak masih di dalam doa, aku mencoba untuk mendengarkan lebih jelas lagi. Suara itu semakin kencang,
                “Eh, ayah kenapa?!” kata kakakku yang terdengar nada suara yang kaget.
                “Ibu, ibu, ayah kenapa?!” suara kakak membuatku tersentak membuka mata.

Aku langsung keluar kamar secepat kilat. Di teras aku melihat punggung ibu dan kakak yang sedang menghadap ke arah ayah. Aku tidak bisa melihat ayah saat itu. Tiba-tiba ibu menyuruhku untuk memanggil pamanku yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Segera aku lari menuju rumah pamanku itu. Sepanjang aku berlari, pikiranku mulai berkecamuk rasanya ingin menangis. Mataku mulai berkaca-kaca. Sesampai di depan rumah paman, aku segera membuka gerbang dan langsung masuk ke dalam rumah paman lewat pintu samping. Aku melihat paman dan beserta orang-orang yang ada di dalam rumah itu – aku tidak memperhatikan wajah siapa aja yang ada disana- mendadak kaget melihat aku yang tersenggal-sengal datang malam-malam. Dengan langkah goyah aku menghampiri paman.
                “a-ayah..a..yah..” kataku lirih. Jantungku berdegup dengan kencang.
                “kenapa ayah, Ta?” tanya paman cemas
                “ngga tau..ngga tau ayah kenapa..” aku tidak tahu harus berkata apa
                “ayo kerumah sekarang!” kataku langsung pergi dari rumah itu

Aku bersama dengan paman dan bersama yang lain entah siapa saja, pergi ke rumahku. Sesampai di depan rumah aku melihat tetangga ramai di gang, sementara di rumah hanya ada kakak. Ternyata ayah sudah digotong oleh tetangga untuk dibawa ke rumah sakit. Terlihat paman sedang menelepon. Lima belas menit kemudian aku dan kakak menyusul ke rumah sakit bersama dengan paman dan yang lainnya (aku masih belum memperhatikan siapa saja yang dari tadi bersama dengan paman).
Di rumah sakit, aku dan kakak langsung masuk ke ruang Emergency. Aku menghampiri ruangan Emergency yang penuh dengan alat-alat dan juga dokter. Dari jauh aku melihat ayah berbaring di atas kasur menggunakan oksigen, disampingnya ada ibu yang sedang berdiri menangis dan berteriak-teriak, sementara itu aku melihat dokter memegang alat pengejut jantung. Digesekan kedua alat pengejut jantung ditangannya, lalu ditempelkan ke tubuh ayah, tubuh ayah terguncang. Dilakukan adegan itu berkali-kali, aku melihat garis yang berjalan di alat deteksi denyut nadi bergerak tidak stabil. Kakak yang tidak sanggup melihat adegan itu dia pergi kebelakang ruangan, aku pun mengikutinya. Kami duduk ditangga, entah ruangan apa ini. Kakak mulai menangis, dia menutup matanya dengan kedua tangannya. Aku terdiam, pikiranku sangat kosong saat ini. Suasana hati terasa tidak enak ditambah dengan kehadiran dokter yang masuk ke tempat kami.
                “Ayah kalian terserang penyakit jantung”, kata dokter itu sambil menyerahkan kertas
                 kepadaku.
                “maaf ayah kalian tidak bisa kami selamatkan”, kata dokter itu lagi sambil pergi
      meninggalkan ruangan.

AYAAHH!! Teriakku dalam hati. Kakiku terasa sangat lemas, dadaku terasa sangat sesak. Aku bersandar ke tangga, akhirnya tangisku pun mulai meledak.

Setelah menangis sejadi-jadinya, aku masuk ke dalam ruangan tempat ayah berbaring. Aku melihat sudah banyak orang yang berkumpul, kebanyakan orang-orang gereja. Aku menghampiri ayah yang berbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Wajahnya yang pucat, seolah meyakinkan kalau ayah sudah tidak bernyawa. Aku meraba tubuhnya, memegang tangannya dan memeluk tubuhnya. Aku menutup mata dan menangis dalam diam.
Ayah..jangan pergi..jangan tinggalkan keluarga ini..jangan tinggalkan aku..aku masih membutuhkan ayah..keluarga ini sangat membutuhkan ayah...jangan tinggalkan ibu sendiri... ayah..maafkan aku..jangan pergi..

Aku membuka mata dan melepaskan pelukanku. Aku menatap wajah ayah, melihat mata ayah yang belum tertutup. Aku meraba wajahnya dari ujung kepala sampai dagu, supaya menutup matanya. Tapi mata ayah sama sekali tidak bisa tertutup. Tiba-tiba aku mendengar suara kakak yang kesal sambil memegang hp.
                “Teleponnya ngga diangkat-angkat! Tu orang kemana sih?! Ngga tahu apa ayahnya udah
       meninggal?!”, kata kakak kesal sambil terus mencoba menelpon.

Aku baru sadar kalau abang tidak ada, pantas mata ayah belum bisa tertutup. Ternyata ayah masih menunggu kedatangan abang. Aku keluar dari tempat ayah berbaring. Sepanjang jalan aku keluar, banyak orang yang mengucapkan belasungkawa. Aku tidak terlalu memperhatikannya dan terus berjalan ke ruang tunggu. Aku duduk terdiam. Aku melihat saudara-sadara yang mulai datang satu persatu lewat pintu yang ada di sebelah kiriku. Aku bersandar, menutup mata memikirkan apa yang sedang terjadi saat ini. Tak lama, aku mendengar suara begitu ramai di dalam ruangan. Aku berdiri dan melihat dari jauh, ternyata abang sudah datang. Aku melihat mata ayah sudah tertutup.

Abang keluar dan menuju ruang tunggu, tiba-tiba dari belakang kakak menarik tangan abang menuju pojok ruang tunggu. Aku melihat mereka berdua, terutama ke kakak yang sedang terlihat sangat kesal. Aku melihat kakak penuh emosi, dia memaki-maki abang. Orang-orang memperhatikan mereka berdua, bibi pun datang untuk melerai mereka. Aku hanya bisa duduk terdiam melihat mereka berdua. Dalam hatiku aku menyalahkan diriku sendiri.

Di tahun ini tidak hanya ayah yang telah pergi, kakek dan nenek telah meninggal di bulan Februari lalu. Kakek meninggal terlebih dahulu, karena sakit prostat yang dideritanya. Kasus kakek sama seperti ayah. Kakek meninggal disaat saya sedang berdoa dan telah mengucapkan doa untuk kesembuhan kakek. Sementara nenek meninggal seminggu setelah kakek.

Ini semua salah saya.. Saya yang membuat ayah meninggal! Semua karena doa saya!!
Seharusya bukan ayah yang pergi, seharusnya saya yang pergi....



Akhir-akhir ini aku sering pergi berziarah ke tempat ayah. Ketika aku sedang sedih, kacau dan merasa hancur, aku selalu pergi ke pemakaman ayah. Di pemakaman aku membersihkan dan merapihkan rumput-rumput yang sudah mulai terlihat lebat, itu jika pembersih makam tidak datang untuk membersihkannya. Selain itu aku juga menceritakan semua yang terjadi akhir-akhir ini tentang keadaan di rumah dan keadaan keluarga. Setiap aku pulang ziarah, suasana hatiku membaik seolah aku mendapatkan energi yang baru dari ayah.

Saat ini saya sudah memasuki semester 6, semester yang sangat berat karena keadaan kampus dan rumah yang semakin kacau. Keadaan kampus sangat kacau, dikarenakan Kaprodi (Kepala Prodi) atau yang lebih dikenal dengan Kajur (Kepala Jurusan) yang sangat menyebalkan. Beliau selalu melakukan hal suka-sukanya. Yang beliau pikirkan hanya misi terselubungnya dan dirinya sendiri, tanpa memikirkan keadaan mahasiswanya. Aku sangat benci dengan dia sejak di semester 2, saat itu beliau belum menjadi Kaprodi. Kakak angkatanku di 2008 yang seharusnya sudah lulus dan kakak angkatan 2009 yang seharusnya sudah siap untuk kelulusannya di semester depan, semuanya kandas hanya karena Kaprodi yang sangat hebat itu. Dosen yang ada di kampus pun bukan lagi dosen yang berkompeten, sisanya hanya orang yang jadi pengikut beliau saja! Terasa sekali satu per satu dosen yang sangat aku senangi dan memang hebat dalam bidangnya, pergi meninggalkan kampus terutama jurusanku.

Selain keadaan di kampus, keadaan di rumah tak kalah menyakitka. Tingkah abang yang semakin berulah yang membuat aku dan kakak sangat kesal sekali kepadanya. Sampai pada akhirnya terjadilah keributan yang luar biasa dengan adegan kekerasann fisik, sampai-sampai tetangga pun ikut melerai pertikaian kami. Aku bersyukur memiliki tubuh yang besar dan memiliki bidang badan yang lebar. Mungkin diluar sana aku sering diejek-ejek karena memiliki bobot badan yang  tidak ideal. Tapi untuk saat ini aku sangat bersyukur sekali. Dengan tubuhku yang kuat ini, aku mampu menghadang abang yang mulai mendorong ibu dan kakak. Tubuh ibu dan kakak yang kecil dengan mudahnya terjungkal di bodi oleh abang, aku pun ngga kalah membalas dorongan ke tubuhnya. Aku sama sekali tidak pernah takut untuk menghadapi dia, walaupun badan dia sebesar gorila. Seandainya dia melakukan tinjuan atau pukulan, tidak segan-segan aku mengambil benda tajam yang ada didekatku untuk ku tusuk atau kurobekkan wajahnya. Untung tetangga datang melerai dan menarik abang keluar. Aku mulai memaki-makinya sampai aku hilang kendali. Aku sangat senang jika melakukan keributan. Berteriak memaki dan memukul apa saja yang ada didekatku adalah kesukaanku, karena disaat itu aku memiliki power yang lebih untuk melakukan tindak kriminal.

Sejak keributan itu, kakak memutuskan untuk ngekost dan tidak lagi tinggal dirumah. Aku kesal bukan main, padahal dari dulu aku yang duluan bilang untuk ngekos jika udah masuk semester besar. Entah kenapa orang-orang dirumah begitu egois, tidak pernah ada yang perduli dengan kondisiku. Akhirnya kakak pun ngekost, ibu yang sudah kehabisan cara untuk menghentikan kakak pun mulai putus asa. Dimulailah hari-hari tanpa kakak yang tinggal dirumah, ibu mulai uring-uringan yang dikerjakan hanyalah bermain games yang ada di hp nya.

Setiap hari, pagi-siang-sore-malam yang dilakukan ibu hanyalah bermain games yang ada di hp nya. Setiap hari aku selalu makan diluar rumah, karena ibu tidak memasak. Aku tidak habis pikir, ternyata memang benar kalau anak yang dianggap ada di rumah ini hanya kakak saja. Saat kakak masih tinggal dirumah, ibu selalu memasak atau memperdulikan sarapan pagi untuk kakak. Ketika kakak libur, ibu tidak membuat sarapan sementara aku masih saja tetap pergi pagi untuk kuliah. Dari dulu sampai sekarang, aku mulai terbiasa tidak sarapan pagi. Dan sekarang jadi lebih terlihat lagi. Tidak ada kakak dirumah, berarti tidak ada makanan yang dimasak, hanya ada indomie yang harus aku masak sendiri setiap harinya.

Tak lupa dengan sikap luar biasa menyebalkan, abang melakukan hal suka-sukanya. Meninggalkan piring dan gelas kotor habis dipakai di atas meja, mengotori rumah tanpa peduli membersihkannya. Sungguh-sungguh menjadi tuan rumah yang menganggap punya pembatu dirumahnya. Emosiku tidak tertahankan jika melihat ulahnya setiap hari seperti itu.

Dikampus... Dirumah.. semuanya sama saja!

Aku mulai capek dengan kondisi diriku. Aku muak dengan keadaan di kampus, aku muak dengan keadaan di rumah. Rasanya aku ingin mati! Seharusnya bukan ayah yang pergi.. tapi saya yang harusnya mati! Ayah masih sangat dibutuhkan di rumah ini. Sementara saya hanya bisa menyusahkan saja!

Aku tidak tahan dikampus, aku pun mulai bolos dan memang berniat untuk menghentikan perkuliahanku. Sudah hampir 3 bulan aku tidak mengikuti perkuliahan. Aku pergi pagi dari rumah dan pulang malam sampai dirumah. Yup! Rumah bukan lagi tempat yang nyaman buatku, rumah seperti neraka buatku! Aku lebih suka berada di rumah malam hari, karena sampai rumah aku bisa langsung tidur, dan kembali pergi dari rumah pagi-pagi. Selama 3 bulan itu aku pergi kemanapun yang aku mau. Aku lebih sering menghabiskan waktu di pondok kelapa, jalan-jalan ke mall, ke gramedia, dan bermain games di Fun World. Aku pergi sendiri, kadang aku pergi bersama dengan temanku.

Aku merasa senang karena tidak memikirkan beban di otakku. Namun setelah 3 bulan berlalu, aku mulai capek juga kalau tiap hari kaya gini terus. Aku sudah tidak berminat untuk kuliah, aku ingin sekali bekerja. Sejak kakak tidak tinggal dirumah, keadaan ekonomi rumah semakin kacau. Kontrakan tidak ada yang membayarnya lagi, sementara gajiku dari gereja tidak cukup. Dulu aku dan kakak sudah melakukan perundingan dengan ibu. Aku dan kakak ngekost di jakarta, sementara ibu tinggal di Sumatera bersama dengan kakaknya. Tapi ibu tidak mau, dia memikirkan anak laki-lakinya harus tinggal dengan siapa. Ibu tidak pernah mendukung kalau kami pergi meninggalkan anak laki-laki semata wayangnya itu. Aku kesal, laki-laki pengganti ayah seharusnya bisa membawa kami dan menafkahi kami. Tapi ini tidak, malah menyebalkan dan menyusahkan saja!

Aku jadi teringat dengan kata-katanya di saat hari kematian ayah. Dia bilang akan menjadi pengganti ayah dan menolak bantuan dari saudara-saudara. Dengan pedenya dia bilang mampu untuk menghidupkan keluarga. Selain dia, aku juga kesal dengan saudara-saudara terutama adik-adik dari ayah yang bilang akan membantu keluarga, khususnya untuk menyekolahkan aku sampai lulus kuliah. Nyatanya sampai detik ini aku tidak menerima bantuan itu. Untung saja saat aku SMA aku mendapatkan bantuan dana dari pemerintah yang aku minta dari wali kelasku. Dan untuk kuliah ini aku mendapatkan beasiswa penuh sampai lulus kalau nilai ipk ku minimal 3. Yaahh.. seperti itulah. Aku juga tidak akan mau meminta bantuan mereka. Lebih baik aku mati ketimbang menjadi pengemis meminta-minta kepada mereka yang selalu memandang remeh kepada keluarga ayah.