7 tahun telah berlalu...
Di bawah langit yang mendung, ku
menatap nama yang terukir pada batu nisan. Terukir nama ayahku lengkap dengan
tanggal lahir dan tanggal kematiannya. Ayahku meninggal karena serangan
jantung, itu yang dikatakan oleh dokter. Menurut orang awam, ayahku terkena
penyakit angin duduk. Yah, jika dikaitkan dengan serangan jantung, angin duduk
memang menyerang jantung.
Sejak kepergiannya, keluargaku
semakin kacau. Aku semakin menyalahkan diriku sebagai penyebab kematian ayahku.
7 tahun yang lalu..
Saat itu, siang hari ketika aku
pulang dari sekolah. Aku melihat ayah sedang muntah-muntah di teras rumah.
Segera aku menghampirinya.
“Bapak
kenapa? Kok muntah-muntah?”, tanyaku panik
“uhuk
uhuk, hueeek”, bapak terus muntah sambil memegang tempat sampah yang
menampung muntahnya itu.
“ibu
dimana? Kok ngga ada orang?”, aku melihat keadaan rumah yang sepi
“ibu
sedang ke tempat bibi Sany”, kata ayah disela-sela muntahnya
Aku segera ganti baju dan pergi
ke rumah bibi Sany, rumahnya tidak terlalu jauh dari rumahku. Tadinya aku mau
jalan kaki ke rumah bibi, tapi akhirnya aku memutuskan untuk naik angkot.
Teringat kalau bibi Sany sedang sakit, penyakit mag-nya kambuh lumayan parah. Ibu
pergi kesana untuk merawat dan memberikan kunyit kental untuk diminum oleh
bibi. Sesampainya aku di depan rumah bibi, ternyata ibu sedang ada di depan
pagar berpamitan untuk pulang. Ibu kaget melihat aku yang datang menyusulnya.
Aku menceritakan kondisi ayah, segera kami pun pulang ke rumah.
Sesampainya dirumah, ayah sudah
tidak muntah-muntah. Dia sedang duduk dibangku teras rumah. Ibu menanyakan
keadaan ayah dan mengurusi ayah. Karena udah ada ibu, aku pun mulai tenang dan
melakukan aktifitasku. Malam hari, kami menonton tv bersama. Kami bercanda
bersama, ayah yang mulai jahil dan tertawa seolah lupa kalau tadi dia habis
muntah-muntah. Saat itu aku terasa sangat lelah, aku pun mulai pergi ke kamar
untuk tidur lebih dulu dari yang lain. Saat aku masuk ke kamar, aku mendengar
suara kakak yang baru pulang dari bekerja. ayah yang tadinya duduk di dalam
rumah, kini pindah duduk di bangku teras. Rumahku sangat kecil 5m x 9m, hanya
ada 4 ruang : ruang tamu, ruang dapur dan 2 kamar tidur. Aku sekamar dengan
kakakku, sementara abangku tidur di ruang tamu, ayah dan ibu dikamar lainnya.
Dinding kamarku tembus langsung ke teras, jadi aku bisa mendengar atau melihat
keadaan di depan rumah dengan sangat jelas.
Didalam kamar aku mulai berdoa
rutinitas sebelum tidur. Doaku sama seperti doa dimalam-malam sebelumnya, namun
ada doa yang aku panjatkan malam ini. Aku berdoa untuk ayahku, aku tidak tahu
apa yang sedang diderita olehnya. Aku berdoa untuk kesehatannya,
“Ya
Tuhan, berkatilah ayah saya. Tadi dia muntah-muntah, saya ngga tahu kenapa dia
muntah-muntah
seperti itu. Saya meminta kesembuhan untuk ayah saya. Berikanlah yang
terbaik bagiMu, ya Tuhan.”
Ketika aku memanjatkan doaku itu,
aku mendengar suara aneh seperti suara orang sedang mendengkur. Aku berhenti
sejenak masih di dalam doa, aku mencoba untuk mendengarkan lebih jelas lagi.
Suara itu semakin kencang,
“Eh,
ayah kenapa?!” kata kakakku yang terdengar nada suara yang kaget.
“Ibu,
ibu, ayah kenapa?!” suara kakak membuatku tersentak membuka mata.
Aku langsung keluar kamar secepat
kilat. Di teras aku melihat punggung ibu dan kakak yang sedang menghadap ke
arah ayah. Aku tidak bisa melihat ayah saat itu. Tiba-tiba ibu menyuruhku untuk
memanggil pamanku yang rumahnya tidak jauh dari rumahku. Segera aku lari menuju
rumah pamanku itu. Sepanjang aku berlari, pikiranku mulai berkecamuk rasanya ingin
menangis. Mataku mulai berkaca-kaca. Sesampai di depan rumah paman, aku segera
membuka gerbang dan langsung masuk ke dalam rumah paman lewat pintu samping.
Aku melihat paman dan beserta orang-orang yang ada di dalam rumah itu – aku
tidak memperhatikan wajah siapa aja yang ada disana- mendadak kaget melihat aku
yang tersenggal-sengal datang malam-malam. Dengan langkah goyah aku menghampiri
paman.
“a-ayah..a..yah..”
kataku lirih. Jantungku berdegup dengan kencang.
“kenapa
ayah, Ta?” tanya paman cemas
“ngga
tau..ngga tau ayah kenapa..” aku tidak tahu harus berkata apa
“ayo
kerumah sekarang!” kataku langsung pergi dari rumah itu
Aku bersama dengan paman dan
bersama yang lain entah siapa saja, pergi ke rumahku. Sesampai di depan rumah aku
melihat tetangga ramai di gang, sementara di rumah hanya ada kakak. Ternyata
ayah sudah digotong oleh tetangga untuk dibawa ke rumah sakit. Terlihat paman
sedang menelepon. Lima belas menit kemudian aku dan kakak menyusul ke rumah
sakit bersama dengan paman dan yang lainnya (aku masih belum memperhatikan
siapa saja yang dari tadi bersama dengan paman).
Di rumah sakit, aku dan kakak
langsung masuk ke ruang Emergency. Aku menghampiri ruangan Emergency yang penuh
dengan alat-alat dan juga dokter. Dari jauh aku melihat ayah berbaring di atas
kasur menggunakan oksigen, disampingnya ada ibu yang sedang berdiri menangis
dan berteriak-teriak, sementara itu aku melihat dokter memegang alat pengejut
jantung. Digesekan kedua alat pengejut jantung ditangannya, lalu ditempelkan ke
tubuh ayah, tubuh ayah terguncang. Dilakukan adegan itu berkali-kali, aku
melihat garis yang berjalan di alat deteksi denyut nadi bergerak tidak stabil.
Kakak yang tidak sanggup melihat adegan itu dia pergi kebelakang ruangan, aku
pun mengikutinya. Kami duduk ditangga, entah ruangan apa ini. Kakak mulai
menangis, dia menutup matanya dengan kedua tangannya. Aku terdiam, pikiranku
sangat kosong saat ini. Suasana hati terasa tidak enak ditambah dengan
kehadiran dokter yang masuk ke tempat kami.
“Ayah
kalian terserang penyakit jantung”, kata dokter itu sambil menyerahkan kertas
kepadaku.
“maaf
ayah kalian tidak bisa kami selamatkan”, kata dokter itu lagi sambil pergi
meninggalkan
ruangan.
AYAAHH!! Teriakku dalam hati. Kakiku terasa sangat lemas, dadaku
terasa sangat sesak. Aku bersandar ke tangga, akhirnya tangisku pun mulai
meledak.
Setelah menangis sejadi-jadinya,
aku masuk ke dalam ruangan tempat ayah berbaring. Aku melihat sudah banyak
orang yang berkumpul, kebanyakan orang-orang gereja. Aku menghampiri ayah yang
berbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Wajahnya yang pucat, seolah
meyakinkan kalau ayah sudah tidak bernyawa. Aku meraba tubuhnya, memegang
tangannya dan memeluk tubuhnya. Aku menutup mata dan menangis dalam diam.
Ayah..jangan pergi..jangan tinggalkan keluarga ini..jangan tinggalkan
aku..aku masih membutuhkan ayah..keluarga ini sangat membutuhkan ayah...jangan
tinggalkan ibu sendiri... ayah..maafkan aku..jangan pergi..
Aku membuka mata dan melepaskan
pelukanku. Aku menatap wajah ayah, melihat mata ayah yang belum tertutup. Aku meraba
wajahnya dari ujung kepala sampai dagu, supaya menutup matanya. Tapi mata ayah
sama sekali tidak bisa tertutup. Tiba-tiba aku mendengar suara kakak yang kesal
sambil memegang hp.
“Teleponnya
ngga diangkat-angkat! Tu orang kemana sih?! Ngga tahu apa ayahnya udah
meninggal?!”, kata kakak kesal sambil terus
mencoba menelpon.
Aku baru sadar kalau abang tidak
ada, pantas mata ayah belum bisa tertutup. Ternyata ayah masih menunggu
kedatangan abang. Aku keluar dari tempat ayah berbaring. Sepanjang jalan aku
keluar, banyak orang yang mengucapkan belasungkawa. Aku tidak terlalu
memperhatikannya dan terus berjalan ke ruang tunggu. Aku duduk terdiam. Aku
melihat saudara-sadara yang mulai datang satu persatu lewat pintu yang ada di
sebelah kiriku. Aku bersandar, menutup mata memikirkan apa yang sedang terjadi
saat ini. Tak lama, aku mendengar suara begitu ramai di dalam ruangan. Aku
berdiri dan melihat dari jauh, ternyata abang sudah datang. Aku melihat mata
ayah sudah tertutup.
Abang keluar dan menuju ruang
tunggu, tiba-tiba dari belakang kakak menarik tangan abang menuju pojok ruang
tunggu. Aku melihat mereka berdua, terutama ke kakak yang sedang terlihat
sangat kesal. Aku melihat kakak penuh emosi, dia memaki-maki abang. Orang-orang
memperhatikan mereka berdua, bibi pun datang untuk melerai mereka. Aku hanya
bisa duduk terdiam melihat mereka berdua. Dalam hatiku aku menyalahkan diriku
sendiri.
Di tahun ini tidak hanya ayah
yang telah pergi, kakek dan nenek telah meninggal di bulan Februari lalu. Kakek
meninggal terlebih dahulu, karena sakit prostat yang dideritanya. Kasus kakek
sama seperti ayah. Kakek meninggal disaat saya sedang berdoa dan telah
mengucapkan doa untuk kesembuhan kakek. Sementara nenek meninggal seminggu
setelah kakek.
Ini semua salah saya.. Saya yang membuat ayah meninggal! Semua karena
doa saya!!
Seharusya bukan ayah yang pergi, seharusnya saya yang pergi....
Akhir-akhir ini aku sering pergi
berziarah ke tempat ayah. Ketika aku sedang sedih, kacau dan merasa hancur, aku
selalu pergi ke pemakaman ayah. Di pemakaman aku membersihkan dan merapihkan
rumput-rumput yang sudah mulai terlihat lebat, itu jika pembersih makam tidak
datang untuk membersihkannya. Selain itu aku juga menceritakan semua yang
terjadi akhir-akhir ini tentang keadaan di rumah dan keadaan keluarga. Setiap aku
pulang ziarah, suasana hatiku membaik seolah aku mendapatkan energi yang baru
dari ayah.
Saat ini saya sudah memasuki
semester 6, semester yang sangat berat karena keadaan kampus dan rumah yang
semakin kacau. Keadaan kampus sangat kacau, dikarenakan Kaprodi (Kepala Prodi)
atau yang lebih dikenal dengan Kajur (Kepala Jurusan) yang sangat menyebalkan.
Beliau selalu melakukan hal suka-sukanya. Yang beliau pikirkan hanya misi
terselubungnya dan dirinya sendiri, tanpa memikirkan keadaan mahasiswanya. Aku
sangat benci dengan dia sejak di semester 2, saat itu beliau belum menjadi
Kaprodi. Kakak angkatanku di 2008 yang seharusnya sudah lulus dan kakak
angkatan 2009 yang seharusnya sudah siap untuk kelulusannya di semester depan,
semuanya kandas hanya karena Kaprodi yang sangat hebat itu. Dosen yang ada di
kampus pun bukan lagi dosen yang berkompeten, sisanya hanya orang yang jadi
pengikut beliau saja! Terasa sekali satu per satu dosen yang sangat aku senangi
dan memang hebat dalam bidangnya, pergi meninggalkan kampus terutama jurusanku.
Selain keadaan di kampus, keadaan
di rumah tak kalah menyakitka. Tingkah abang yang semakin berulah yang membuat
aku dan kakak sangat kesal sekali kepadanya. Sampai pada akhirnya terjadilah
keributan yang luar biasa dengan adegan kekerasann fisik, sampai-sampai
tetangga pun ikut melerai pertikaian kami. Aku bersyukur memiliki tubuh yang
besar dan memiliki bidang badan yang lebar. Mungkin diluar sana aku sering
diejek-ejek karena memiliki bobot badan yang
tidak ideal. Tapi untuk saat ini aku sangat bersyukur sekali. Dengan
tubuhku yang kuat ini, aku mampu menghadang abang yang mulai mendorong ibu dan
kakak. Tubuh ibu dan kakak yang kecil dengan mudahnya terjungkal di bodi oleh
abang, aku pun ngga kalah membalas dorongan ke tubuhnya. Aku sama sekali tidak
pernah takut untuk menghadapi dia, walaupun badan dia sebesar gorila.
Seandainya dia melakukan tinjuan atau pukulan, tidak segan-segan aku mengambil
benda tajam yang ada didekatku untuk ku tusuk atau kurobekkan wajahnya. Untung
tetangga datang melerai dan menarik abang keluar. Aku mulai memaki-makinya
sampai aku hilang kendali. Aku sangat senang jika melakukan keributan.
Berteriak memaki dan memukul apa saja yang ada didekatku adalah kesukaanku,
karena disaat itu aku memiliki power yang lebih untuk melakukan tindak
kriminal.
Sejak keributan itu, kakak
memutuskan untuk ngekost dan tidak lagi tinggal dirumah. Aku kesal bukan main,
padahal dari dulu aku yang duluan bilang untuk ngekos jika udah masuk semester
besar. Entah kenapa orang-orang dirumah begitu egois, tidak pernah ada yang
perduli dengan kondisiku. Akhirnya kakak pun ngekost, ibu yang sudah kehabisan
cara untuk menghentikan kakak pun mulai putus asa. Dimulailah hari-hari tanpa
kakak yang tinggal dirumah, ibu mulai uring-uringan yang dikerjakan hanyalah
bermain games yang ada di hp nya.
Setiap hari,
pagi-siang-sore-malam yang dilakukan ibu hanyalah bermain games yang ada di hp
nya. Setiap hari aku selalu makan diluar rumah, karena ibu tidak memasak. Aku
tidak habis pikir, ternyata memang benar kalau anak yang dianggap ada di rumah
ini hanya kakak saja. Saat kakak masih tinggal dirumah, ibu selalu memasak atau
memperdulikan sarapan pagi untuk kakak. Ketika kakak libur, ibu tidak membuat
sarapan sementara aku masih saja tetap pergi pagi untuk kuliah. Dari dulu
sampai sekarang, aku mulai terbiasa tidak sarapan pagi. Dan sekarang jadi lebih
terlihat lagi. Tidak ada kakak dirumah, berarti tidak ada makanan yang dimasak,
hanya ada indomie yang harus aku masak sendiri setiap harinya.
Tak lupa dengan sikap luar biasa
menyebalkan, abang melakukan hal suka-sukanya. Meninggalkan piring dan gelas
kotor habis dipakai di atas meja, mengotori rumah tanpa peduli membersihkannya.
Sungguh-sungguh menjadi tuan rumah yang menganggap punya pembatu dirumahnya.
Emosiku tidak tertahankan jika melihat ulahnya setiap hari seperti itu.
Dikampus... Dirumah.. semuanya
sama saja!
Aku mulai capek dengan kondisi
diriku. Aku muak dengan keadaan di kampus, aku muak dengan keadaan di rumah.
Rasanya aku ingin mati! Seharusnya bukan
ayah yang pergi.. tapi saya yang harusnya mati! Ayah masih sangat dibutuhkan di
rumah ini. Sementara saya hanya bisa menyusahkan saja!
Aku tidak tahan dikampus, aku pun
mulai bolos dan memang berniat untuk menghentikan perkuliahanku. Sudah hampir 3
bulan aku tidak mengikuti perkuliahan. Aku pergi pagi dari rumah dan pulang
malam sampai dirumah. Yup! Rumah bukan lagi tempat yang nyaman buatku, rumah
seperti neraka buatku! Aku lebih suka berada di rumah malam hari, karena sampai
rumah aku bisa langsung tidur, dan kembali pergi dari rumah pagi-pagi. Selama 3
bulan itu aku pergi kemanapun yang aku mau. Aku lebih sering menghabiskan waktu
di pondok kelapa, jalan-jalan ke mall, ke gramedia, dan bermain games di Fun World. Aku pergi sendiri, kadang aku
pergi bersama dengan temanku.
Aku merasa senang karena tidak
memikirkan beban di otakku. Namun setelah 3 bulan berlalu, aku mulai capek juga
kalau tiap hari kaya gini terus. Aku sudah tidak berminat untuk kuliah, aku
ingin sekali bekerja. Sejak kakak tidak tinggal dirumah, keadaan ekonomi rumah
semakin kacau. Kontrakan tidak ada yang membayarnya lagi, sementara gajiku dari
gereja tidak cukup. Dulu aku dan kakak sudah melakukan perundingan dengan ibu.
Aku dan kakak ngekost di jakarta, sementara ibu tinggal di Sumatera bersama
dengan kakaknya. Tapi ibu tidak mau, dia memikirkan anak laki-lakinya harus
tinggal dengan siapa. Ibu tidak pernah mendukung kalau kami pergi meninggalkan
anak laki-laki semata wayangnya itu. Aku kesal, laki-laki pengganti ayah
seharusnya bisa membawa kami dan menafkahi kami. Tapi ini tidak, malah
menyebalkan dan menyusahkan saja!
Aku jadi teringat dengan
kata-katanya di saat hari kematian ayah. Dia bilang akan menjadi pengganti ayah
dan menolak bantuan dari saudara-saudara. Dengan pedenya dia bilang mampu untuk
menghidupkan keluarga. Selain dia, aku juga kesal dengan saudara-saudara
terutama adik-adik dari ayah yang bilang akan membantu keluarga, khususnya
untuk menyekolahkan aku sampai lulus kuliah. Nyatanya sampai detik ini aku
tidak menerima bantuan itu. Untung saja saat aku SMA aku mendapatkan bantuan
dana dari pemerintah yang aku minta dari wali kelasku. Dan untuk kuliah ini aku
mendapatkan beasiswa penuh sampai lulus kalau nilai ipk ku minimal 3. Yaahh..
seperti itulah. Aku juga tidak akan mau meminta bantuan mereka. Lebih baik aku
mati ketimbang menjadi pengemis meminta-minta kepada mereka yang selalu
memandang remeh kepada keluarga ayah.